Mewaspadai Ancaman Disintegrasi Keluarga Muslim Indonesia






PENULIS tercenung usai membaca sebuah berita Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan angka perceraian nasional hingga 70 persen. (Republika, 24/01/2012).

Menurut berita itu, ada tiga daerah tercatat memiliki tingkat perceraian paling tinggi. Bandung menempati urutan pertama. Berdasarkan data Pengadilan Tinggi (PT) tahun 2010, angka perceraian mencapai 84.084 perkara. Angka tersebut naik 100 persen lebih dibanding tahun sebelumnya sebanyak 37.523 perkara. Rincian penyebab perceraian adalah sebanyak 33.684 perceraian akibat faktor ekonomi, 25.846 perkara tidak ada keharmonisan, dan 17.348 perkara tidak ada tanggungjawab.

Peringkat kedua diduduki PT Surabaya sebanyak 68.092 perkara. Angkanya meningkat sembilan persen daripada 2009 sebanyak 63.432 perkara. Rincian faktor perceraian di antaranya sebanyak 22.766 perkara akibat tidak ada keharmonisan, sebanyak 17.032 perkara tidak ada tanggungjawab, dan 12.326 perkara faktor ekonomi.

PT Semarang menyusul di posisi berikutnya dengan jumlah 54.105 perkara pada 2010. Angka tersebut meningkat 17 persen dibanding tahun sebelumnya sebanyak 47.592 perkara. Rincian penyebab perceraian antara lain sebanyak 21.648 perkara tidak ada tanggungjawab, sebanyak 13.904 tidak ada keharmonisan, dan sebanyak 12.019 perkara akibat faktor ekonomi.

Jika dikumulasikan dari ketiga provinsi itu maka jumlah keluarga yang telah bercerai selama periode 2005 – 2010 adalah 206.281 keluarga. Sungguh, jumlah yang tidak sedikit bukan? Apa yang bisa disimpulkan dari beberapa laporan di atas?

Walaupun data tahun 2011 belum dimasukkan, tapi yang penting diperhatikan bahwa tingkat perceraian di negara berpenduduk mayoritas muslim ini sudah sangat memprihatinkan. Dan, bukan tidak menutup kemungkinan data tersebut hanyalah sebagian kecil dari realitas yang sebenarnya alias fenomena gunung es saja. نعوذ بالله من ذالك......

Bagaimana dengan provinsi Aceh yang telah mempositivasi syariat dalam sistem kehidupan sehari-hari?

Mahkamah Syar’iyah Aceh merilis dalam situs resminya grafik penyebab terjadinya perceraian di Aceh periode 2005 – 2009. Ada 13 faktor perceraian yang telah teridentifikasi yaitu poligami, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak bertanggung jawab, kawin di bawah umur, penganiyaan, dihukum, cacat biologis, politik, gangguan pihak ketiga dan tidak harmonis.

Dari ke 13 faktor tersebut, tidak bertanggung jawab, tidak harmonis dan ekonomi merupakan tiga faktor terbesar. Tahun 2005 misalnya, terdapat 601 kasus perceraian karena faktor tidak ada tanggung jawab dan 577 kasus faktor ekonomi dan atau tidak harmonis. Sementara pada tahun 2009 terjadi peningkatan tajam; terdapat 1.020 kasus perceraian karena faktor tidak tanggung jawab sedangkankan faktor ekonomi dan atau tidak harmonis mencapai 1.140 kasus.

Idealita Konsepsional

Tema keluarga dalam al-Quran disebutkan dalam rangkaian sub tema pokok sistem sosial (nizham ijtima’iy). Ada dua puluh satu isu yang dibahas dalam al-Quran berkaitan dengan keluarga; (1) manusia yang berpasang-pasangan (laki dan perempuan) dengan segala hak, kewajiban dan tanggung jawabnya, (2) keharusan menajga kehormatan sebagai manusia, (3) kedudukan wanita, (4) pernikahan, (5) talak, (6) nusyuz, (7) zina, (8) keharusan melindungi kehormatan wanita muhsanat, (9) hidup melajang, (10) hak anak-anak, (11) menyusi anak, (12) anak angkat, (13) nama nasab atau keturunan, (14) hak-hak anak yatim, (15) wasiat, (16) perlindungan harta anak-anak yang belum mampu mengurus diri, (17) kerabat, (18) perlakuan kepada budak wanita yang berasal dari pihak kalah perang, (19) perlindungan hak-hak anak gadis, (20) hak-hak waris dan (21) tuntunan hidup dalam internal keluarga. (Abu Ridha, 2007: xii).

Keluarga yang diawali dengan pernikahan, bernilai ibadah dalam syariat karena tujuannya adalah memelihara hidup dan memohon keberlanjutannya hingga hari akhirat nanti.
Pernikahan bukan hanya pertemuan untuk meningkatkan produktivitas hewani, ia merupakan kelanjutan secara simultan dari keimanan untuk mencetak generasi yang dapat merealisasikan risalah eksistensi kemanusian. Ayah dan ibu bekerjasama dalam melaksanakan tugas ini (Muhammad Al Ghazali, 2001: 135-42).

Sebuah penelitian menegaskan bahwa (1) ketiadaan ayah dalam keluarga dalam arti ayah tidak menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik atau ketidakmengertiannya tentang kekhasan pada masa kanak-kanak akan menghambat perkembangan anak baik jasmani, perilaku maupun intelektualitasnya, (2) dasar utama pendidikan anak adalah keteladanan, cinta, kasih saying dan kelembutan, (3) pengaruh seksual, acara TV yang menyimpang, nyanyian yang tidak mendidik, perselisihan orang tua, waktu luang yang banyak dan ketergantungan kepada pembantu merupakan kendala yang paling rawan yang mengakibatkan penyimpangan perilaku anak, (Adnan Hasan, 1991).

Realita Faktual

Mengapa realitas factual berbanding terbalik dengan idealita konseptual itu?

Dalam buku “Tegak di Tengah Badai”, (Abu Ridha, 2007) telah diidentifikasi tujuh faktor penyebab disintegrasi lembaga keluarga. Pertama, globalisasi budaya yang berimplikasi pada pertemuan antar budaya sekaligus melahirkan proses saling mempengaruhi. Ringkas kata, pertemuan antar budaya bisa wujud dalam bentuk dominasi (penjajahan) terhadap yang lain.

Kedua, limbah budaya permisivisme (serba boleh) yang berakar dari filsafat hedonisme atau libertianisme yang bertujuan mencapai segala kenikmatan fisik setinggi mungkin, sesering mungkin dan dengan cara apapun. Para sosiolog menegaskan bahwa permisivisme merupakan anak kandung dari nihilisme yang menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk otoritas termasuk agama dan relativisme yang menyatakan kebenaran atau moralitas adalah relatif, (Dr. A Zaki Badawi; 1978).

Ketiga, perubahan-perubahan dramatik/liar sebagai konsekwensi dari budaya permisivisme tersebut. Baru-baru ini OPSI (Organisasi Pekerja Seks Indonesia) mendapat legalitas dari pemerintah pusat. Kini, mereka menargetkan legalitas dari nanggroe meutuah ini. Ada pun tentang penyimpangan perilaku seksual, penulis punya saksi hidup –seorang mahasiswa- yang nyaris menjadi korban pelaku homoseksual (gay) dua tahun lalu. Menurut pengakuannya, di kampusnya ternyata sudah eksis sebuah komunitas gay, sedangkan komunitas lesbi ada di Fakultas Ekonomi kampus lainnya. Masalah ini – seksualitas dan reproduksi- bisa bersifat positif yaitu membangun kepribadian, akan tetapi juga bisa menghancurkan sfat-sifat kemanusiaan… (Kartini Kartono, Jilid 1, 1992: 220-21).

Keempat, rasa malu yang hilang dan manusia yang tragis. Lihatlah tingkah polah mayoritas remaja yang telah kehilangan syaraf malu; mojok di warung gelap di pinggiran trotoar, mejeng di atas kendaraan di sepanjang tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Sedangkan manusia tragis adalah mereka yang tidak berdaya, kepribadian terpecah (split personality),dan terasing dalam keramaian. Kelima, media massa yang destruktif. Keenam, badai pornograpi dan pornoaksi. Ketujuh, andil gerakan feminisme ekstrem yang menegasikan lembaga keluarga.

Cinta Bukan Segalanya

Banyak orang yang begitu bersemangat memasuki bahtera rumah tangga bermodalkan cinta yang menggebu terhadap pasangannya. Tapi pada kenyataannya cinta saja tak cukup untuk membangun biduk rumah tangga yang berkualitas. Puncak kenikmatan sebuah pernikahan bukan dicapai melalui penyatuan fisik saja, melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual yang saling menumbuhkembangkan.

Pernikahan adalah sarana pembelajaran yang berkelanjutan, baik untuk mempelajari karakter pasangan ataupun meng-upgrade diri masing-masing. Karenanya sangat penting membangun komitmen bersama untuk saling menghargai dan mengingatkan baik sebelum, di awal maupun sepanjang pernikahan. Komitmen itu mengikat tapi tidak kaku, sehingga tidak ada salahnya diperbarui jika di tengah jalan kesepakatan itu tidak sesuai lagi.

Masyarakat Islami

Solusi fundamental dari permasalahan di atas adalah kembali kepada pemahaman yang menyeluruh terhadap syariat itu sendiri. Acapkali kesalahpahaman terhadap syariat melahirkan perilaku yang menjadi bumerang berkepanjangan. Kedua, masyarakat islami itu tidak semata diukur dengan anggotanya yang terdiri dari orang-orang beragama Islam, sementara nilai-nilai yang mengatur kehidupan sosialnya bukanlah aturan Islam. Namun, juga tidak serta merta dijuluki jahiliah, melainkan masyarakat yang tengah berproses menuju idealita.

Masyarakat islami yang dicitakan itu berupa kehidupan yang dibimbing akidah islam, dikendalikan oleh pemahaman islam, digerakkan oleh perasaan islam, dipagari oleh akhlak islam, diperindah oleh tatakrama islam, didominasi oleh nilai-nilai islam, hukumnya adalah syariat islam. Dan, orientasi ekonomi, seni,dan politiknya adalah ajaran islam, (Al Qaradhawi, 2003).

Sedangkan asy syahid Sayyid Quthb menegaskan, alasan utama dari keunikan masyarakat Islam dibandingkan yang lainnya karena masyarakat islam itu bentukan syariat yang khas yang datang dari sisi Tuhan. Syariat itulah yang membentuk masyarakat atas dasar apa yang diinginkanNya, bukan atas kehendak segelintir manusia. Dalam naungan syariat itulah tumbuh masyarakat Islam, menghadirkan ikatan-ikatan kerja, produksi, hukum, tatanan individu dan sosial, prinsip-prinsip perilaku, aturan interaksi dan seluruh tonggak bagi masyarakat yang khas, dengan corak yang jelas. Intinya, syariat itu yang membentuk masyarakat bukan yang dibentuk oleh masyarakat. AKhirnya, mari kita jaga keluarga kita dalam naungan syariah. Wallahu a’lam.*

Penulis peminat kajian sosial keagamaan berdomisili di Banda Aceh. Mantan pengurus pusat IMAPA (Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh) Jakarta


Oleh: Ahmad Arif Ginting

Foto: caroline/flicr


sumber : www.hidayatullah.com

0 Komentar:

Posting Komentar