Miskin atau Kaya, Yang Penting Tetap Sederhana



SELAIN sebagai negarawan yang cakap, Umar bin Khattab juga dikenal sebagai seorang yang zuhud. Keberhasilannya dalam mengantarkan rakyat dan bangsanya memasuki gerbang kehidupan yang lebih baik, tidak mengubah sikap dan pola hidupnya. Ia tetap Umar yang dulu, yang sederhana dan bersahaja.

Pada masa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) ummat Islam hidup selalu pas-pasan, jika tidak boleh disebut berkekurangan. Bagaimana tidak, sedang negara Madinah, yang baru saja dimerdekakan harus menghadapi berbagai berbagai rongrongan musuh yang tidak senang akan kejayaan Islam. Oleh karenanya wajar jika pembangunan fisik, kurang mendapatkan sentuhan, bahkan nyaris tidak terurus.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar bisa dibilang hampir sama, kecuali ada sedikit kemajuan. Wilayah Islam mulai berkembang, merambah ke berbagai wilayah yang berdekatan. Akan tetapi musuh Abu Bakar tidak sedikit. Ia harus menghadapi para pembangkang yang keluar dari Islam. Jumlah mereka tidak kecil, demikian juga kekuatannya. Alhamdulillah musuh-musuh Islam itu telah berhasil dilenyapkan oleh Abu Bakar. Dengan gambaran kondisi di atas adalah wajar jika dalam pemerintahan Abu Bakar, kesejahteraan ummat dalam bidang materi belum bisa dihitung, walaupun sedikit ada kemajuan.

Pada pemerintahan Umar, wilayah Islam terus berkembang. Tidak saja terbatas di jazirah Arab, tetapi juga meliputi bangsa-bangsaa asing, bahkan telah menyeberang ke Eropa. Satu persatu kekuasaan kafir berhasil ditundukkan. Termasuk kerajaan Parsi yang sudah sangat maju dan tinggi peradabannya.

Tentu saja perubahan besasr terjadi di kalangan ummat Islam. Harta kekayaan melimpah, ummat banyak, dan kekuatan militer besar dan terlatih. Poros dunia mulai bergeser dari dua super power – Roma dan Persia – ke dunia baru Islam, yang berpusat di Madinah.
Bagi kebanyakan ummat yang tidak langsung mendapatkan bimbingan dari Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), perubahan di bidang materi ini tentu saja bisa mengubah sikap mentalnya. Jika biasanya hidup dalam berkesahajaan, kini mulai ikut-ikutan cara baru sebagaimana layaknya penduduk negeri-negeri yang telah ditaklukkan. Mulai dari gaya berpakaian sampai ke gaya hidup.

Di tengah perubahan besar seperti ini, sebagai sosok pemimpin dengan kekuasaan yang amat besar, Umar, tetap menunjukkan sikap dan perilaku yang sama. Tidak ada sedikitpun yang berubah pada diri Umar, termasuk dalam memandang harta. Ia tak tergiur sedikitpun terhadap harta, walaupun harta itu telah ada di depan matanya. Jangankan korupsi, mengambil haknya sendiri saja ia masih enggan.



Sangat wajar dan rasional jika Umar mendapatkan gaji lebih besar daripada Abu Bakar, sebab pada saat ia memimpin, luas wilayahnya membengkak beberapa kali lipat, pendapatan negara juga melonjak, kesejahteraan rakyat juga meningkat. Akan tetapi Umar ternyata memilih gaji yang sama seperti yang diterima oleh kepala negara sebelumnya. Padahal harga-harga kebutuhan pokok telah meningkat, sementara kebutuhannya juga semakin banyak.

Orang-orang terdekatnya bukan saja merasa iba, tapi ikut prihatin atas sikap pemimpinnya. Berkali-kali usulan diajukan untuk menambah gajinya, tapi selalu ditolaknya.
Tentang kezuhudan Umar bin Khattab ini, Ibnu Asakir menceritakan sebuah atsr dari Hasan Basri. Ia berkata, “Ketika aku mendatangi suatu majelis di masjid jami’ kota Basra, kudapatkan sekelompok sahabat Nabi saw yang sedang membicarakan tentang kezuhudan Abu Bakar dan Umar, di tengah berlimpah-ruahnya kekayaan yang diperoleh kaum muslimin dari berbagai wilayah yang ditaklukkan.

Ketika mendekati al-Ahnaf bin Qais al-Tamimi ra aku mendengar ia berkata, “ketika kami diutus oleh Umar ke Persia dan wilayah sekitarnya, maka kami berhasil mengumpulkan beberapa pakaian yang bagus dari wilayah-wilayah itu. sewaktu kami menghadap dengan mengenakan pakaian-pakaian mewah tersebut di hadapan Umar, ia memalingkan wajahnya dari kami dan menjauh. Sikap tersebut menjadikan para sahabat Rasulullah saw merasa takut, sehingga mereka mengadukan masalah ini kepada Ibnu Umar yang ketika itu berada di masjid. Kata Abdullah Ibnu Umar, “Mungkin ia marah, karena ketika menghadapnya, kalian sedang berpakaian mewah yang berbeda dengan keadaan kalian di masa Rasulullah dan Abu Bakar al-Shiddiq ra.”

Kami segera pulang ke rumah masing-masing dan segera menukar pakaian mewah dengan pakaian yang biasa kami pakai di masa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan Abu Bakar. Maka di saat menghadap Umar dengan pakaian tersebut, ia bangkit menyalami kami dan merangkul kami seorang demi seorang seolah baru pertama kali bertemu.

Ketika kami hadapkan kepada Umar semua ghanimah tersebut dengan cara yang sama di antara kami. Ketika kami haturkan di hadapannya sekaleng makanan, ia mencicipinya sedikit, kemudian berkata kepada kami, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, mungkin dikarenakan makanan sekaleng ini, seorang anak saling berebut dengan ayah dan saudara-saudaranya. Kemudian ia menyuruh segera membagikan makanan tersebut kepada anak-anak para syuhada’. Muhajirin dan Anshar yang ayah-ayahnya gugur di masa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) tak lama kemudian ia bangkit diikuti para sahabat yang lain.

Seusai acara ini para sahabat melanjutkan obroannyaj. Mereka berkata, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, bagaimana kamu lihat kezuhudan orang ini (Umar) dan pakaian yang disandangnya. Sungguh mengherankan sedangkan Allah Subhanahu Wata’ala telah melimpahkan rezeki yang berlimpah-ruah kepada kaum muslimin dan telah menaklukan semua bangsa-bangsa yang berada di jazirah Arabiyah. Utusan orang-orang Arab dan asing semuanya berdatangan kepadanya, akan tetapi kami lihat ia menghadapi mereka dengan memakai jubah satu-satunya yang sudah dihiasi dua belas tambalan.”

Mereka kemudian melanjutkan rembukannya. Katanya, alangkah baiknya jika kalian – tokoh-tokoh sahabat yang dekat dengan Umar – mengusulkan agar ia mau mengganti jubahnya itu dengan pakaian yang lebih baik sehingga kelihatannya lebih dan lebih tampan, agar ia juga mau menggantikan piring yang biasa dipakainya jika ia makan di hadapan para sahabat.

Untuk kepentingan itu, para sahabat bersepakat mengutus Ali bin Abi Thalib. Alasannya, selain dikenal berani, ia adalah seorang menantu Rasulullah.

Akan tetapi ketika usulan itu disampaikan kepada Ali, ia malah menjawab, “Aku tidak berani menyampaikan usul itu kepada Umar. Sebaiknya kalian menemui para istri Rasulullah sebab mereka adalah ibu bagi kaum mukminin dan hal itu lebih pantas.”
Atas usul tersebut, para tokoh sahabat ini mendatangi rumah ‘Aisyah dan Hafsah, keduanya tinggal dalam satu rumah. Maka ‘Aisyah berkata, “Aku yang akan menyampaikannya kepada Amirul Mukminin.” Akan tetapi Hafsah (putri Umar bin Khattab) justru sanksi. Ia berkata, “Menurutku Umar tak mungkin menerima usul tersebut.”
Ketika keduanya datang ke rumah Umar, ia menyambutnya dengan penuh hormat. ‘Aisyah membuka pembicaraan, “Wahai Amirul Mukminin, bolehkah aku menyampaikan sesuatu kepadamu?” Boleh, jawab Umar.

Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah wafat dan telah kembali ke haribaan-Nya sedangkan beliau belum sempat menikmati kesenangan duniawi sedikitpun. Demikian pula Abu Bakar, khalifah Rasulullah yang telah menghidupkan sunnah-sunnah beliau, menumpas orang-orang yang keluar dari Islam, menegakkan pemerintahan dengan adil dan membagikan harta ghanimah dengan cara yang sama, dan beliau meninggal sebelum sempat menikmati kesenangan dunia.

Sedangkan engkau, kini telah dibukakan di hadapanmu semua kekayaan yang telah dimiliki kaisar Romawi dan Parsi. Kini berdatangan utusan-utusan bangsa Arab dan asing ke hadapanmu, sedangkan kau memakai jubah ini yang padanya terdapat dua belas tambalan. Alangkah baiknya jika engkau mau menggantikan jubah usang itu dengan pakaian yang lebih anggun, sebab Allah telah melimpahkan harta yang berlimpah-ruah di hadapanmu.”

Mendengar ucapan ini, Umar pun menangis, seraya berkata, Demi Allah, aku tanya kepadamu, pernahkan Rasulullah kenyang dari roti mewah selama berhari-hari dalam hidupnya? Pernahkah Rasulullah minta dihidangkan kepadanya makanan-makanan mewah? Kedua pertanyaan ini selalu dijawab: tidak! Maka umar pun berkata, “Wahai istri-istri Rasulullah, kalau kalian saksikan bahwa Rasulullah saw tidak pernah makan dan berpakaian secara mewah, mengapa kalian berdua datang kepadaku seraya mengusulkan kepadaku agar aku hidup mewah sepeninggalnya?”

Umar melanjutkan pembicaraanya, “Wahai Hafsah, mengapa engkau suruh aku hidup mewah, sedangkan engkau tahu walaupun Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah diampunkan dosanya yang terdahulu maupun yang kemudian, namun beliau tetap hidup melarat dan tetap bersemangat dalam beribadah, baik di waktu siang maupun petang. Begitulah kehidupan beliau sampai menjelang wafatnya. Demikian pula Abu Bakar, seorang khalifah Rasulullah yang telah dibukakan di hadapannya harta yang berlimpah-ruah, namun beliau tetap hidup amat sederhana dan bersemangat dalam ibadahnya hingga menjelang hari wafatnya. Karena itu aku akan tetap mengikuti pola hidup sederhana ini hingga hari wafatku, sebab aku hendak meniru kedua sahabatku yang mulia itu.”

Ketika jawaban Umar itu disampaikan kepada para sahabat, mereka pun terdiam. Tidak ada satupun di antara mereka yang berani mengusulkan lagi kepada Umar. Dan Umar tetap dalam kesederhanaannya hingga menemui ajalnya.

Bagaimana dengan para penerusnya? Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah dua sahabat yang menjadi khalifah sepeninggalnya. Keduanya melanjutkan kebiasaan pendahulunya. Meskipun Utsman sejak semula kaya raya, tapi ia tetap memilih gaya hidup sederhana. Ali bin Abi Thalib yang sejak mudanya menjalani kehidupan sebagai zahid, ketika berkuasapun tetap zahid. Ia tetap sederhana dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

Kita memang bukan Umar, Ali, maupun Abu Bakar. Tetapi pantaslah berkaca kepadanya.*


Red: Cholis Akbar
Sumber : Www.hidayatullah.com

0 Komentar:

Posting Komentar