Inikah Kesulitan Karena Menikah Dini?





KETIKA MENIKAH, usia saya 21 tahun. Bagi sebagian orang, itu usia yang terlalu muda untuk menikah bagi seorang laki-laki. Terlebih pada saat itu saya masih berstatus mahasiswa. Sebelum akad nikah terlaksana, sebenarnya sanak saudara dan kerabat sudah banyak yang mengingatkan resiko menikah di usia dini. Dari mulai yang paling argumentatif seperti ketidaksiapan mental, dan kesulitan membagi waktu kuliah-kerja-nikah, hingga yang paling reaktif seperti adanya gunjingan MBA, dan sebagainya.

Namun semua peringatan itu tidak saya jadikan halangan. Malah itu semua jadi bahan masukan yang berharga untuk lebih mematangkan persiapan pernikahan, hingga akhirnya akad nikah pun dilaksanakan.

Beberapa bulan berumahtangga, ternyata secara pribadi saya tidak merasakan halangan yang berarti akibat menikah dini. Malah sebaliknya, kondisi emosional bisa lebih stabil dan produktivitas cenderung meningkat. Saya pun tidak terlalu kesulitan membagi waktu antara aktivitas di kampus dan aktivitas profesional. Memang, tentu ada yang dikorbankan, namun kadarnya saya anggap tidak signifikan.

Setelah setahun menikah, saya pun lulus dari kampus. Saya beruntung karena lulus dengan IPK yang lumayan tinggi. Saya pun menjadi salah satu lulusan terbaik di kampus. Dengan pengalaman di organisasi kemahasiswaan yang saya kira cukup baik, ditambah beberapa prestasi lomba yang pernah saya ikuti, saya cukup optimis ada masa depan cerah yang membentang di hadapan. Sejak saat itu, saya bermaksud untuk lebih berkonsentrasi pada pencapaian karir di dunia profesional. Maklum, saat kuliah saya hanya bisa mencari penghasilan yang pas-pasan untuk hidup berdua.

Mencari kerja

Saat itu saya baru menemukan hambatan yang cukup merepotkan dari status pernikahan saya. Ya, hambatan itu hanya datang dari status, bukan dari substansi pernikahan itu sendiri. Hal itu karena mayoritas lowongan pekerjaan yang saya temui, terlebih untuk posisi MT (Management Trainee) yang terkait dengan minat dan latar belakang pendidikan saya, ternyata mempersyaratkan kandidatnya belum menikah alias single.

Beberapa lowongan kerja yang lain lebih soft dalam persyaratannya. Mereka menerima karyawan entry level yang sudah menikah, namun tetap lebih menyukai kandidat yang belum menikah. Itu artinya jika ada dua orang dengan kemampuan yang hampir sama, di mana salah satunya sudah menikah, maka yang dipilih adalah yang belum menikah.

Hal ini akhirnya mendorong saya untuk memilih satu dari dua hal: memilih bidang kerja yang tidak sesuai passion, minat, dan rencana, atau menunggu lebih lama lagi datangnya lowongan lain yang sesuai dengan passion, minat dan rencana serta tidak mempersyaratkan status lajang kandidatnya. Jika saya memilih yang kedua, saya tidak tahu sampai kapan harus menunggu.

Inspirasi akhirnya datang. Daripada memilih salah satu dari dua pilihan, saya kira lebih baik memutuskan untuk menciptakan pilihan ketiga: mencoba berwirausaha. Selain tanpa mempersyaratkan status, memulai berwirausaha juga bisa dilakukan secepatnya. Itulah yang akhirnya saya geluti.

Kesiapan berumah tangga

Sekelumit cerita di atas saya tulis untuk sedikit mengangkat permasalahan seputar menikah muda. Masalah itu bisa ditinjau dari aspek internal maupun eksternal. Kita tidak boleh pungkiri bahwa ada beberapa kasus di mana sebuah rumah tangga jadi berantakan setelah menikah di usia dini. Namun saya kira tidak adil jika kita memandang nikah dini sebagai biang keladinya.

Yang lebih tepat dinilai sebagai penyebab menurut saya adalah ketidaksiapan pasangan itu sendiri dalam mengarungi rumahtangga. Wujud ketidaksiapan itu bisa berupa belum cukupnya ilmu, wawasan, dan kedewasaan emosi. Ingat bahwa Islam tidak memberikan batas ukuran usia tentang ukuran kesiapan itu. Seseorang yang berusia 20 tahun bisa jadi lebih dewasa, berilmu, dan berwawasan ketimbang orang yang berusia 30 tahun. Usamah bin Zaid misalnya, dipandang Rosululloh telah cukup matang untuk memimpin pasukan perang meski usianya baru 18 tahun.

Jika kita melihat ada banyak kasus nikah dini yang berjalan berantakan, bukankah ada banyak pula kasus nikah ‘wajar’ yang juga berantakan? Oleh karena itu, usia saat melangsungkan pernikahan tidak serta merta bisa dianggap sumber permasalahan. Saat menemui seseorang yang menikah muda, penilaian kita seharusnya bukan pada usianya yang masih muda tetapi tingkat kesiapannya untuk menempuh hidup berkeluarga.

Faktor lingkungan

Faktor eksternal ternyata juga memiliki saham dalam permasalahan yang dihadapi pasangan nikah dini. Kesiapan mereka dalam berumah tangga tentunya bisa sedikit terganggu jika dihadapkan pada lingkungan yang tidak mendukung.

Dalam kasus saya di atas, saya pernah memperoleh informasi bahwa persyaratan belum menikah yang diajukan oleh badan usaha pada calon karyawannya sejatinya merupakan bentuk kehati-hatian mereka untuk memilih sumberdaya manusia. Orang yang sudah menikah dianggap memiliki kecakapan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan orang yang masih lajang. Orang yang sudah menikah dianggap akan terbagi pemikirannya antara pekerjaan dan keluarga, selain itu memiliki kecenderungan untuk tinggal bersama pasangan.

Hal tersebut tentunya akan menyulitkan badan usaha untuk melakukan proses penataran yang bisa jadi akan dilaksanakan berbulan-bulan di tempat yang terpisah dengan kediamannya. Sepintas logika tersebut ada benarnya. Namun bagi saya, mengukur kondisi seseorang hanya dari status menikah atau lajangnya adalah hal yang terlalu sempit. Selain itu, persyaratan seperti itu akan mengeliminasi kandidat-kandidat potensial yang justru bisa jadi lebih bermanfaat bagi badan usaha dalam jangka panjang.

Pada praktiknya, orang yang masih lajang belum tentu memiliki tingkat konsentrasi yang lebih baik ketimbang orang yang sudah menikah. Jika kendalanya adalah jarak, maka orang yang sudah menikah itu bisa ditanyai kesiapannya untuk meninggalkan pasangannya sementara waktu. Jika tidak siap, mungkin memang pekerjaan itu tidak cocok baginya. Namun pada praktiknya tidak sedikit orang yang ternyata siap untuk berpisah sementara waktu dan mengerti rencana apa yang perlu ia lakukan ketika masa berpisah itu.

Permisif pada hedonisme

Adanya hambatan eksternal itu menunjukkan bahwa kita memang tidak hidup di dunia yang ideal. Terkadang kita hadapi kenyataan bahwa dunia profesional memang cenderung permisif pada budaya hedonis ketimbang budaya akhlakul karimah.

Menikah adalah alternatif yang jauh lebih baik untuk memelihara diri daripada pacaran atau bahkan pergaulan bebas. Namun kadang dunia lebih mengakomodasi orang yang bergaul bebas ketimbang orang yang menikah di usia muda.

Meski demikian, menyerah bukanlah pilihan utamanya. Ada banyak alternatif yang Allah sediakan agar tetap hidup mulia di dalam kebaikan. Seperti contoh saya di atas, menggantungkan diri pada hanya pada perusahaan ataupun badan usaha bukanlah hal yang produktif. Kita patut bersyukur jika memang diterima bekerja di badan usaha yang sesuai dengan minat dan rencana kita. Namun jika kita belum diterima bekerja, Allah menjanjikan alternatif rizki lainnya seperti berdagang atau berwirausaha.

Akhir kata, tulisan ini dibuat untuk mengajak masyarakat agar tidak mengakambinghitamkan pernikahan di usia muda sebagai biang masalah. Faktor kesiapan lebih patut dijadikan perhatikan ketimbang faktor usia. Selain itu tulisan ini juga mengajak masyarakat luas untuk memberikan dukungan yang positif bagi pemuda-pemuda yang ingin menjaga harga dirinya lewat institusi pernikahan.

Salah satu bentuk dukungan itu adalah memberikan kesempatan yang sama bagi para pemuda potensial untuk berkontribusi tanpa menjadikan status menikah-lajang sebagai syarat utama. Tulisan ini dibuat pula untuk para pemuda yang sudah menikah di usia muda atau hendak menikah agar tidak terlalu khawatir tentang masalah yang akan dihadapi.

Jika secara internal sudah ada kesiapan untuk menikah, alangkah baiknya jika itu dilaksanakan segera. Allah sudah menjanjikan karunia bagi orang-orang yang menikah, selama nikahnya dimaksudkan untuk memperoleh kebaikan dari Allah. Jika Allah sudah berkehendak menjanjikan karunia pada hamba-Nya, maka tak ada sesuatu pun di dunia ini yang mampu menghalaunya.


Asto Hadiyoso

asto_shirosaki@yahoo.co.id


www.republika.co.id

0 Komentar:

Posting Komentar